Selamat Ya! Rupiah Masuk ‘Klub Elite’ Mata Uang Dunia

Selamat Ya Rupiah Masuk Klub Elite Mata Uang Dunia Smartpower Media 1

Hari ini rupiah memang melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Namun keperkasaan rupiah akhir-akhir ini membuat mata uang Tanah Air masuk ‘klub elit’. Pada Rabu (10/06/2020) pukul 14:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.980. Rupiah melemah 1,01% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Akan tetapi, rupiah sudah menunjukkan performa yang luar biasa sejak memasuki kuartal II-2020. Selepas Maret yang ‘gila’, rupiah langsung balas dendam dengan sangat cepat. Sejak awal kuartal II hingga kemarin, rupiah telah menguat 15,03% di hadapan dolar AS. Penguatan itu berhasil menghapus koreksi parah yang terjadi pada Maret.

Hasilnya, rupiah kini sudah menguat secara year-to-date meski apresiasinya tipis saja yaitu 0,29%. Tidak banyak mata uang yang bisa melakukannya. Di antara mata uang utama dunia, rupiah kini berada di peringkat ke-6. Rupiah menjadi satu-satunya mata uang ASEAN yang masuk ‘klub elit’ tersebut.

Dari dalam negeri, fundamental penyokong rupiah pun membaik. Pada kuartal I-2020, Bank Indonesia (BI) melaporkan defisit transaksi berjalan sebesar US$ 3,9 miliar atau setara dengan 1,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Ini adalah catatan terendah sejak 2017. Walau masih defisit, tetapi keseimbangan ekspor-impor barang dan jasa Indonesia membaik. Ini menganggarkan pasokan devisa yang lebih baik di perekonomian domestik sehingga menjadi modal penguatan rupiah.

Kemudian, inflasi nasional juga terkendali. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi pada Mei sebesar 0,07% month-to-month (MtM). Ini membuat inflasi tahun kalender (year-to-date/YtD) menjadi 0,9% dan inflasi tahunan (year-on-year/YoY) 2,19%.

Di satu sisi, rendahnya inflasi memang menunjukkan daya beli sedang menurun akibat terpaan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Namun di sisi lain, inflasi yang rendah berarti kurs rill rupiah tidak banyak ‘termakan’ oleh inflasi. Berinvestasi di rupiah menjadi menguntungkan sehingga layak dipertimbangkan oleh pelaku pasar.

Lalu, berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah juga memberi imbalan yang ‘seksi’. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun saat ini berada di 7,278%. Masih di atas instrumen serupa di negara-negara Asia seperti Malaysia (3,123%), Filipina (3,282%), sampai India (5,772%). Stabilitas rupiah ke depan juga bisa terjaga mengingat cadangan devisa yang semakin kuat. Per akhir Mei, cadangan devisa Indonesia tercatat US$ 130,5 miliar. Naik dibandingkan posisi bulan sebelumnya yang sebesar US$ 127,9 miliar. Angka US$ 130,5 miliar menjadi catatan tertinggi sejak awal tahun ini.

Ke depan, peluang peningkatan cadangan devisa lebih lanjut masih terbuka. Likuiditas valas perbankan bisa semakin ‘gemuk’ seiring derasnya pasokan valas akibat tren kebijakan moneter ultra-longgar di berbagai negara.

Fitch Ratings memperkirakan nilai stimulus moneter dalam bentuk pembelian surat-surat berharga (quantitative easing) oleh seluruh bank sentral dunia pada tahun ini bisa mencapai US$ 6 triliun. Di AS, neraca bank sentral Negeri Paman Sam (The Federal Reserve/The Fed) pada pertengahan Maret tercatat US$ 4,3 triliun. Namun pada akhir April jumlahnya membengkak menjadi US$ 6,5 triliun.

Kemudian bank sentral Uni Eropa (ECB) pada pertengahan Maret hingga medio April membeli surat-surat berharga dengan nilai total EUR 120 miliar. Sebelumnya, nilai quantitative easing ‘hanya’ sekitar EUR 20 miliar per bulan.

Sementara bank sentral Inggris (BoE) berencana menambah pembelian obligasi pemerintah senilai GBP 200 miliar. Sedangkan bank sentral Jepang (BoJ) meluncurkan program tambahan pembelian Exchange Traded Funds (ETFs) sampai dengan JPY 12 triliun. Gelontoran ‘uang murah’ itu tentu akan menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Uang-uang itu akan masuk ke perbankan dan sektor keuangan Tanah Air.

Berbagai faktor tersebut bisa menjadi ‘jamu’ bagi keperkasaan rupiah. Namun ada pula faktor yang bisa membuat rupiah terpeleset. Pertama adalah penyebaran virus corona. Kurva kasus corona di Tanah Air belum melandai, masih cenderung melengkung ke atas. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengungkapkan, jumlah pasien positif corona di Tanah Air per 9 Juni 2020 adalah 33.076 orang. Bertambah 1.043 orang dibandingkan posisi hari sebelumnya sekaligus menjadi rekor tertinggi penambahan kasus harian.

Mengutip riset Nomura, Indonesia menjadi salah satu negara yang berisiko mengalami gelombang serangan kedua (second wave outbreak). Indonesia berada di kelompok yang sama dengan Brasil, India, sampai Singapura. “Ada 17 negara yang belum menunjukkan risiko gelombang serangan kedua. Sementara 13 negara menunjukkan tanda peringatan tetapi masih tentatif dan 15 negara menjadi yang paling berisiko,” sebut riset Nomura.

Kebetulan Indonesia sedang melonggarkan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Larangan perjalanan sudah tidak seketat dulu, dan sejumlah aktivitas masyarakat sudah diizinkan lagi meski protokol kesehatan tetap berlaku.

“Dalam skenario terburuk, pembukaan kembali aktivitas ekonomi kemudian dikaitkan dengan lonjakan kasus harian, bertambahnya rasa kekhawatiran di masyarakat, yang bisa membuat mobilitas kembali terbatas. Lebih ekstrem lagi, lockdown (karantina wilayah) bisa diberlakukan kembali,” sebut riset Nomura.

Kalau sampai kemudian lonjakan kasus di Tanah Air membuat pemerintah berpikir ulang untuk menerapkan kehidupan normal baru (new normal) dan kembali menerapkan social distancing, maka prospek ekonomi Indonesia bakal suram. Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia tidak tumbuh alias stagnan 0% pada tahun ini. Apabila aktivitas publik kembali dibatasi, maka bukan tidak mungkin terjadi kontraksi (pertumbuhan negatif).

Ini bisa membuat investor agak cemas. Kekhawatiran itu, jika semakin besar, akan diwujudkan dengan melepas aset-aset di pasar keuangan Indonesia. Ketika ini terjadi, maka rupiah bakal melemah. Kedua adalah dinamika hubungan AS-China. Sejak Presiden AS Donald Trump mendesak China untuk bertanggung jawab atas penyebaran virus corona, relasi Washington-Beijing memburuk. Ditambah lagi rencana China yang akan menerapkan UU keamanan baru yang lebih represif di Hong Kong.

“Saat ini ancaman AS masih sebatas pepesan kosong, tetapi sangat mungkin terealisasi dalam beberapa waktu ke depan. Ketika itu terjadi, proses pemulihan mata uang negara-negara berkembang akan terganggu dan investor kembali memilih mata uang yang dipandang aman,” tambah Francesca Beausang, Ekonom Continuum Economics, seperti diikutip dari Reuters. Oleh karena itu, rupiah tidak boleh lengah. Risiko yang ada masih sangat tinggi, dan bisa membuat nasib rupiah menjadi penuh tanda tanya.

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top